Sultravisionary.id : Koordinasi antar lembaga penegak hukum masih menjadi tantangan dalam reformasi hukum di Indonesia, terutama dalam hubungan antara Penyidik dan Penuntut Umum yang kerap mengalami perselisihan. Jaksa memiliki peran sentral dalam proses penuntutan berdasarkan prinsip Dominus Litis, yang berarti Jaksa sebagai pemilik perkara berwenang menentukan kelanjutan suatu proses hukum.
Namun, penerapan prinsip ini dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan revisi Undang-Undang Kejaksaan dinilai berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara Kejaksaan dan Kepolisian. “Ujar muhram”
Lanjut advokat Muda tersebut, RUU Kejaksaan juga memperluas kewenangan Jaksa dalam penyelidikan, yang selama ini menjadi ranah Kepolisian. Jika kewenangan tersebut tidak dipisahkan dengan jelas, dikhawatirkan dapat melemahkan prinsip check and balance, membuka celah penyalahgunaan wewenang, serta menciptakan lembaga super body dalam sistem penegakan hukum.
Sejumlah dampak negatif yang berpotensi timbul akibat penerapan Dominus Litis dalam revisi UU Kejaksaan dan RKUHP antara lain:
1. Potensi penyalahgunaan kekuasaan – Jaksa memiliki kendali penuh atas proses penuntutan, sehingga rentan terhadap intervensi politik atau kepentingan tertentu.
2. Kurangnya perlindungan bagi korban – Jika Jaksa memutuskan untuk tidak melanjutkan kasus, korban tidak memiliki mekanisme untuk menuntut keadilan.
3. Minimnya partisipasi masyarakat – Prinsip ini membatasi peran masyarakat dalam proses penegakan hukum, karena tidak dapat mengajukan tuntutan pidana secara mandiri.
4. Ketidakseimbangan dalam sistem peradilan – Negara akan memiliki dominasi penuh atas proses hukum, sementara hak individu bisa terabaikan.
5. Kurangnya akuntabilitas – Keputusan Jaksa untuk menghentikan kasus tidak selalu transparan dan sulit dipertanggungjawabkan.
Untuk menghindari potensi permasalahan tersebut, beberapa rekomendasi yang dapat diterapkan dalam revisi RKUHP dan UU Kejaksaan meliputi:
1. Penguatan hak korban – Memberikan hak kepada korban untuk mengajukan banding jika kasusnya dihentikan oleh Jaksa.
2. Pengawasan ketat – Membentuk lembaga independen yang mengawasi kinerja Jaksa guna mencegah penyalahgunaan kewenangan.
3. Mekanisme citizen lawsuit – Memungkinkan masyarakat untuk menggugat kasus-kasus yang berkaitan dengan kepentingan publik.
4. Transparansi dalam proses penuntutan – Jaksa harus memberikan alasan yang jelas dan dapat diakses publik atas keputusan penghentian kasus.
5. Keseimbangan kewenangan – Memberikan ruang bagi lembaga lain, seperti KPK atau lembaga khusus, untuk menangani kasus-kasus tertentu agar tidak terjadi monopoli kewenangan.
Agar revisi RKUHP dan UU Kejaksaan lebih adil dan akuntabel, diperlukan reformasi yang mempertimbangkan kepentingan semua pihak, termasuk korban dan masyarakat. Selain itu, penting untuk menghindari disharmoni antar lembaga penegak hukum agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan yang justru dapat menghambat efektivitas sistem peradilan pidana di Indonesia. “Ujar Muhram Naadu”
Advokat Muda : Dominus Litis dalam RKUHP Berpotensi Menimbulkan Disharmoni Antar Penegak Hukum
