Sultravisionary.id,Muna Barat – Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBUN) di Desa Tondasi, Kecamatan Tiworo Utara, Kabupaten Muna Barat, Sulawesi Tenggara, menjadi sorotan setelah diketahui masih menggunakan sistem pengisian manual meski telah beroperasi sejak 2004.
Ironisnya, di tengah kemajuan teknologi, solar dan pertalite subsidi untuk ratusan nelayan di wilayah pesisir itu masih ditakar pakai alat gantang, bukan pompa digital seperti standar Pertamina.
Padahal, alat pengisian otomatis (nosel) telah terpasang sejak 2022. Namun, Pertamina menolak mengakui penggunaannya karena instalasi berada di dalam rumah, bukan di area terbuka sesuai standar keselamatan.
Akibatnya, nelayan kerap merasa dirugikan. Mereka mengaku menerima takaran yang lebih sedikit dari jumlah yang dibeli.
“Kami beli 20 liter, tapi pas dicek cuma dapat 18 liter. Dua liter itu sangat berharga buat kami,” keluh HE, seorang nelayan setempat, Rabu (9/4/2025).
Tak adanya SPBU lain di sekitar wilayah tersebut membuat para nelayan terpaksa membeli BBM di SPBUN ini meskipun mereka sadar dirugikan.
Masalah ini bukan baru. Selama lebih dari dua dekade, pengisian dilakukan secara manual tanpa kalibrasi resmi dan pengawasan ketat dari pemerintah maupun Pertamina. Praktik ini diduga melanggar prinsip perlindungan konsumen dan aturan distribusi BBM subsidi.
“Ini bukan BBM komersil. Subsidi negara harusnya dikelola dengan akurat dan transparan,” tegas Ibrahim,
Ketua Aliansi Mahasiswa Pemerhati Hukum Indonesia (AMPHI). Ia mendesak pemerintah dan Pertamina untuk menindak tegas pengelola SPBUN. Jika tak ada perubahan, izin operasional sebaiknya dicabut.
Saat dikonfirmasi, pengelola SPBUN, Aras, tak menampik kekurangan fasilitas. Ia mengaku memasang nosel atas desakan pemerintah daerah karena banyak protes warga saat itu. Namun, setelah diaudit Pertamina, pemasangan dianggap tidak sesuai standar.
“Saya dipaksa pasang, padahal saya sudah bilang tak sanggup. Setelah diperiksa, tetap tidak disetujui. Jadi kembali lagi ke manual,” jelas Kamran.
Aras juga mengaku kesulitan membangun SPBU dengan fasilitas modern karena keterbatasan dana. Ia bahkan masih memiliki utang bank dan belum mampu melakukan investasi besar yang ditaksir mencapai Rp1 miliar lebih.
“Kalau ada dana, hari ini juga saya bangun SPBU-nya. Tapi kalau pemerintah mau cabut izin, saya pasrah,” tambahnya.
SPBUN milik Aras ini memiliki kuota distribusi sebesar 80 ton solar dan 16 ton pertalite per bulan, melayani hampir 1.000 nelayan. Namun, tak ada tanda-tanda perbaikan sistem layanan dalam waktu dekat. Bahkan ia secara gamblang mengaku belum ada rencana untuk membangun SPBU sesuai standar.
Sementara itu, alat nosel yang sudah dipasang masih berada di dalam rumah, melanggar ketentuan keamanan dan operasional dari Pertamina. Kondisi ini membuat para nelayan terus menjadi korban dari sistem distribusi yang tidak adil.
Jika tidak segera ditangani, SPBU nelayan yang semestinya menjadi penyelamat, justru berpotensi menjadi “jebakan struktural” yang terus merugikan mereka yang paling bergantung pada bahan bakar bersubsidi.