Uncategorized

Akademisi hukum Pidana FH UHO : Asas Dominus Litis dalam Revisi UU Kejaksaan RI bertentangan dengan Asas Diferensiasi Fungsional

647
×

Akademisi hukum Pidana FH UHO : Asas Dominus Litis dalam Revisi UU Kejaksaan RI bertentangan dengan Asas Diferensiasi Fungsional

Share this article
Akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo, (Ramadan Tabiu, S.H., LL.M).


Sultravisionary.id : kendari, Revisi Undang-Undang Kejaksaan (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021) menjadi perbincangan hangat di kalangan praktisi dan akademisi hukum. Salah satu poin yang memicu polemik adalah pengaturan asas dominus litis, yang memberikan kewenangan kepada kejaksaan untuk mengintervensi proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian.

Secara bahasa, dominus litis berasal dari bahasa Latin, di mana “dominus” berarti pemilik dan “litis” berarti perkara. Dengan demikian, dominus litis dapat diartikan sebagai pemilik atau pengendali perkara. Dalam konteks revisi UU Kejaksaan, konsep ini memberikan jaksa wewenang lebih besar dalam supervisi dan pengendalian perkara pidana, termasuk dalam tahap penyelidikan dan penyidikan.

Ketua Perhimpunan Hukum dan Hak Asasi Manusia Jakarta, M. Ridwan Ristomoyo, menilai bahwa pemberian asas dominus litis kepada kejaksaan berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan serta tumpang tindih dengan kewenangan kepolisian dan kehakiman.

Hal senada disampaikan oleh Akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo (FH UHO), Ramadan Tabiu, S.H., LL.M. Ia mengungkapkan bahwa ada tiga persoalan utama yang muncul akibat penerapan asas dominus litis dalam revisi UU Kejaksaan.

Pertama, pengaturan asas dominus litis yang memberikan kewenangan kejaksaan untuk mengintervensi atau melakukan supervisi dalam proses penyelidikan dan penyidikan dapat menciptakan tumpang tindih kewenangan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Sistem peradilan pidana di Indonesia melibatkan empat sub-sistem utama, yaitu:

1. Kepolisian sebagai lembaga yang berwenang melakukan penyidikan.
2. ⁠Kejaksaan sebagai lembaga penuntutan.
3. ⁠Pengadilan sebagai pihak yang mengadili dan menjatuhkan putusan.
4. ⁠Lembaga eksekusi yang melaksanakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Dalam sistem ini, masing-masing lembaga memiliki kewenangan tersendiri yang tidak dapat saling tumpang tindih. Meskipun dalam kasus tertentu, seperti tindak pidana korupsi, kejaksaan diberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan, tetapi secara umum, penyidikan adalah tugas dan kewenangan kepolisian.

Kedua, penerapan asas dominus litis dalam revisi UU Kejaksaan dianggap bertentangan dengan asas diferensiasi fungsional dalam hukum acara pidana. Asas ini menegaskan bahwa setiap aparat penegak hukum memiliki tugas dan fungsi yang terpisah antara satu dengan yang lain. Dalam paradigma Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981, kewenangan polisi, jaksa, dan hakim sudah ditetapkan secara tegas. Jika kejaksaan diberikan wewenang untuk mengintervensi penyelidikan dan penyidikan, hal ini berpotensi mengurangi kewenangan kepolisian sebagai penyidik utama dalam sistem peradilan pidana.

Ketiga, meskipun dalam penegakan hukum tugas instansi / lembaga penegak hukum berbeda – beda dan mempunyai tujuan sendiri tetapi pada hakikatnya dalam sistem penegakan hukum pidana bisa bekerja sama.itu bisa terjadi jika didukung adanya singkronisasi dari segi subtansi produk hukum / undang – undang pada masing- masing lembaga hukum, sehingga dapat memungkinkan subtansi bekerja secara koheren, kordinatif dan integratif. “Ujar Ramadan Tabiu, S.H., LL.M.”

Dengan adanya perdebatan ini, penting bagi para pemangku kebijakan untuk mempertimbangkan kembali penerapan asas dominus litis dalam revisi UU Kejaksaan. Keselarasan sistem peradilan pidana dan pembagian kewenangan yang jelas antar-lembaga penegak hukum harus tetap dijaga demi terciptanya sistem hukum yang adil dan efektif di Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *