Opini

Kebijakan Humanis di Negara Anarkis: Ironi Demokrasi yang Retak

299
×

Kebijakan Humanis di Negara Anarkis: Ironi Demokrasi yang Retak

Share this article

 

Opini: Praktisi hukum, La ode Sawal Abdul Azis, SH.

 

Sultravisionary.id,Kendari – Menjadi humanis di tengah negara yang anarkis ibarat menyalakan lilin di tengah badai. Rakyat terus diminta bersabar, santun, dan damai, sementara kekuasaan justru menebar kebijakan serampangan, sewenang-wenang, bahkan represif.

Inilah kontradiksi moral terbesar: negara menuntut rakyat berperilaku beradab, tetapi penguasa sendiri mengingkari asas keadaban publik. Quis custodiet ipsos custodes? siapa yang mengawasi para penguasa ketika justru merekalah pelanggar hukum yang mereka buat?

Anarkisme Kebijakan: Demokrasi yang Tergadai

Dalam kerangka rule of law, setiap kebijakan seharusnya tunduk pada prinsip salus populi suprema lex esto keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Namun, yang terjadi justru abusus potestatis (penyalahgunaan kekuasaan).

DPR dan pemerintah kerap melahirkan produk hukum in haste (tergesa-gesa), minim partisipasi publik, bahkan terkadang bertentangan dengan due process of law. Legislasi semacam ini adalah bentuk “anarkisme” negara, karena mengingkari asas transparansi dan akuntabilitas yang menjadi fondasi demokrasi konstitusional.

Kebijakan yang cacat prosedural ibarat lex imperfecta: sah secara formal, namun cacat secara moral dan sosiologis. Hak rakyat untuk didengar (audi et alteram partem) diabaikan, hingga memicu kekecewaan yang melahirkan aksi protes.

Ketika Protes Rakyat Berubah Anarkis

Idealnya, protes adalah wujud ius resistendi hak untuk menentang ketidakadilan. Namun, ketika kanal demokrasi ditutup, protes rakyat sering kali bergeser menjadi anarkisme sosial: demonstrasi damai menjelma kerusuhan.

Inilah causa causans (sebab langsung) dari kebijakan elitis yang tidak berpihak pada rakyat. Namun perlu digarisbawahi, anarkisme rakyat pun bukan remedium iustum (obat yang tepat). Kekerasan hanya melahirkan circulus vitiosus (lingkaran setan) antara penguasa dan rakyat: aparat berdalih menegakkan ketertiban, sementara substansi kritik publik hilang dalam asap gas air mata.

Kembali ke Bonum Commune.

Baik anarkisme kekuasaan maupun anarkisme rakyat adalah contradictio in terminis terhadap semangat demokrasi. Jalan keluar hanya mungkin bila negara kembali ke asas bonum commune (kebaikan bersama).

DPR dan pemerintah wajib menegakkan prinsip fiat justitia ruat caelum keadilan harus ditegakkan sekalipun langit runtuh dengan melahirkan kebijakan yang partisipatif, transparan, dan berkeadilan.

Sebaliknya, rakyat juga harus menyalurkan aspirasi melalui jalur konstitusional, agar kritik tetap tajam tanpa terjerumus dalam actus reus (perbuatan melawan hukum).

Singkatnya, anarkisme dari kedua belah pihak adalah delictum contra rem publicam kejahatan terhadap kepentingan negara itu sendiri. Demokrasi akan runtuh bila legislator bertindak sebagai dominus alih-alih servus populi.

Bangsa ini hanya bisa keluar dari jebakan anarkisme bila penguasa menyadari bahwa vox populi, vox dei suara rakyat adalah suara Tuhan. Tegakkan keadilan, sekalipun gedung DPR runtuh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *