Opini

Antara Si Kaya dan Si Miskin: Wajah Buram Penegakan Hukum di Indonesia

156
×

Antara Si Kaya dan Si Miskin: Wajah Buram Penegakan Hukum di Indonesia

Share this article

Opini: Praktisi Hukum, Lode Sawal Abdul Azis,SH

Sultravisionary.id,Kendari – Delapan dekade Indonesia merdeka, persoalan klasik dalam penegakan hukum masih saja menghantui: ketidaksetaraan perlakuan antara si kaya dan si miskin.

Padahal, sejak 1945 konstitusi telah menegaskan asas equality before the law dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan.” Prinsip ini dipertegas lagi dalam Pasal 3 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, yang menyebut setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan yang sama di depan hukum.

Namun, realitas di lapangan jauh panggang dari api. Fakta menunjukkan, hukum seringkali “tajam ke bawah, tumpul ke atas”.

Ketimpangan yang Nyata

Akses Bantuan Hukum: Orang miskin kerap tak mampu menyewa pengacara, bergantung pada LBH atau advokat pro bono. Sebaliknya, orang kaya bisa membayar pengacara top dengan strategi hukum yang lebih canggih.

Kriminalisasi vs Impunitas: Pencurian makanan karena lapar bisa berujung penjara, sementara kasus korupsi triliunan kerap berakhir dengan hukuman ringan atau bahkan bebas.

Uang & Kekuasaan: Dengan modal besar, hukum bisa dibeli lewat suap, gratifikasi, hingga lobi politik.

Bagi si miskin, tindak pidana biasanya dilakukan karena desakan kebutuhan tanpa strategi hukum. Itu membuat aparat lebih mudah membuktikan kesalahannya. Sementara si kaya, sudah merancang langkah hukum sejak awal, bahkan menyembunyikan barang bukti, sehingga aparat kesulitan menjeratnya.

Dampak Sosial

Ketidakadilan hukum ini menimbulkan erosi kepercayaan publik. Rakyat kecil merasa hukum lebih sering menindas ketimbang melindungi, sehingga lahir potensi ketidakpatuhan hukum (law disobedience) bahkan konflik sosial.

Dalam praktiknya: Hukum terhadap orang miskin dijalankan secara kaku dengan pendekatan kepastian hukum semata.

Hukum terhadap orang kaya justru sering dimanipulasi melalui judicial corruption dan penyalahgunaan due process of law.

Hal ini jelas bertentangan dengan konsep negara hukum (rechtstaat) dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.

Solusi yang Ditawarkan agar hukum tidak lagi menjadi alat kaum elit, sejumlah solusi ditawarkan:

1. Penguatan Independensi Aparat: Polri, Kejaksaan, dan Pengadilan harus bebas dari intervensi politik maupun oligarki.

2. Implementasi Bantuan Hukum Nyata: Akses bantuan hukum gratis untuk masyarakat miskin sesuai UU No. 16 Tahun 2011 harus diperluas.

3. Transparansi & Akuntabilitas: Proses hukum perlu terbuka dengan digitalisasi peradilan yang bisa dipantau publik secara real-time.

4. Sanksi Tegas: Aparat yang terbukti diskriminatif atau menerima suap harus diberi hukuman tanpa pandang bulu.

5. Restorative Justice: Perkara kecil yang menjerat rakyat miskin sebaiknya diselesaikan dengan keadilan restoratif.

6. Edukasi Hukum: Literasi hukum masyarakat harus ditingkatkan agar sadar akan hak konstitusionalnya.

Secara normatif, hukum Indonesia bersifat netral dan nondiskriminatif. Namun dalam realitas sosiologis, hukum masih lebih tunduk pada kekuatan modal dan politik.

Indonesia, 80 tahun merdeka, masih berjuang mewujudkan substantive rule of law. Sebab, yang terjadi hari ini lebih mirip rule by law hukum yang tunduk pada kepentingan elit, bukan keadilan rakyat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *