Sultravisionary.id,Kendari – Nilai-nilai Al-Qur’an dan kearifan lokal di Sulawesi Tenggara terbukti mampu berjalan berdampingan dalam harmoni. Tradisi adat yang hidup di masyarakat tidak hanya menjadi simbol budaya, tetapi juga menjadi sarana dakwah dan pembentukan karakter umat yang berkeadaban.
Hal ini disampaikan Danial, Akademisi IAIN Kendari yang menjadi salah satu narasumber Dialog Media bertema “Cahaya Al-Qur’an di Timur Nusantara: Harmoni Iman, Alam, Budaya”, yang digelar dalam rangkaian kegiatan Seleksi Tilawatil Qur’an dan Hadits (STQH) Nasional XXVIII Tahun 2025 di Kendari, Sulawesi Tenggara.
“Al-Qur’an tidak turun dalam ruang hampa budaya. Ia hadir untuk meluruskan dan menyempurnakan tradisi agar sejalan dengan nilai-nilai ilahiah,” ujar Danial, Rabu (15/10/25).
Danial menjelaskan, Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki kekayaan budaya dari berbagai suku seperti Tolaki, Buton, Muna, Moronene, dan Wakatobi, yang masing-masing tradisinya mencerminkan nilai-nilai Qurani.
Ia mencontohkan, Kalosara pada suku Tolaki menjadi simbol keadilan dan penyelesaian konflik secara damai; Haroa di Buton dan Wuna melatih rasa syukur serta kebersamaan melalui tradisi syukuran; Katoba di Muna menanamkan nilai-nilai Islam pada anak menjelang usia baligh; sementara Takabira di Moronene melambangkan kecintaan masyarakat terhadap Al-Qur’an melalui tradisi khataman.
“Semua tradisi ini menjadi cerminan bagaimana nilai-nilai Al-Qur’an hidup di tengah masyarakat. Islam tidak meniadakan budaya, justru mengarahkan adat menuju kemaslahatan,” jelas Danial.
Dalam paparannya, Danial juga mengutip Surat Al-Hujurat ayat 13 sebagai landasan penting harmoni antara iman dan budaya.
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, serta menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.” Q.S. Al-Hujurat : 13
Menurutnya, ayat tersebut menggambarkan bahwa perbedaan suku dan budaya adalah kehendak Tuhan untuk memperkaya kehidupan sosial, bukan alasan untuk saling menjauh.
“Ayat ini menegaskan bahwa keberagaman adalah bagian dari rahmat Allah. Dari perbedaan itulah kita belajar saling memahami, menghargai, dan bekerja sama dalam kebaikan,” ujar Danial.
Danial juga mengutip pepatah adat Tolaki yang berbunyi, “Inaike nasara dibinadara,” yang berarti barang siapa menghargai adat, maka ia akan dimuliakan.
“Pepatah ini mengajarkan barang siapa yang menghargai adat, maka akan dimuliakan, sebaliknya, barang siapa yang tidak menghargai maka tidak akan dihargai”, jelasnya.
Dalam paparannya, Danial juga menyoroti sejumlah tantangan dalam menjaga harmoni antara adat dan agama.
Ia menyebut masih adanya praktik sinkretisme (yaitu bercampurnya adat dengan unsur kesyirikan), komersialisasi adat yang menghilangkan makna spiritual, minimnya dialog antara ulama dan tokoh adat, serta mulai pudarnya bahasa dan warisan budaya di kalangan generasi muda.
Menjawab tantangan itu, Danial mendorong berbagai langkah konkret, seperti memperkuat kolaborasi antara ulama dan budayawan untuk menyeleksi adat yang selaras dengan syariat, mengintegrasikan pendidikan budaya di madrasah dan pesantren, serta mendokumentasikan pantun, syair, dan bahasa daerah sebagai media dakwah.
Ia juga menilai pentingnya mengadakan workshop berbasis kearifan lokal dan membentuk Forum Adat–Ulama sebagai ruang dialog budaya dan syariah.
“Dalam menghadapi berbagai tantangan dalam menjaga keharmonisan, kita perlu langkah-langkah konkret yang melibatkan ulama dan budayawan lokal, untuk lebih kritis dalam ajaran-ajaran agama dan budaya”, jelasnya
Turut hadir membuka acara Dialog Media ini, Kepala Kantor Wilayah Kemenag Sulawesi Tenggara, Muhammad Saleh, dan dihadiri oleh beberapa narasumber lainnya seperti Kepala Subdirektorat Lembaga Tilawah dan Musabaqah Al-Qur’an, Rizal Ahmad Rangkuti, Muchlis M. Hanafi (Ketua Dewan Hakim STQH Nasional ke-XXVII Tahun 2025), dan menghadirkan audiens dari berbagai media lokal dan nasional.











